11 Mei 2011

Rengginang Ringan Tapi Mampu Hasilkan Omzet Rp.20 Jt/ bln

Kendati terbilang makanan lawas, pamor rangginang tidak pernah tergerus zaman. Buktinya, usaha pembuatan rangginang tetap eksis. Salah satunya adalah sentra pembuatan rangginang di Kampung Anyar, Bogor, Jawa Barat. Di desa ini terdapat ratusan perajin rangginang. Sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku dan budaya, Indonesia juga memiliki beragam makanan khas daerah.


Salah satu camilan tradisional khas masyarakat di Pulau Jawa adalah rangginang. Camilan ini terbuat dari beras ketan. Ada dua jenis beras ketan yang biasa digunakan sebagai bahan baku rangginang, yakni beras ketan hitam dan putih. Tak ada perbedaan soal rasa dari dua bahan tersebut. Perbedaan paling mencolok hanya terletak pada warna tampilannya saja yang merujuk pada warna bahan baku, yakni hitam dan putih.

Kendati terbilang makanan lawas, kehadiran rangginang tidak pernah tergerus perkembangan zaman. Sampai sekarang, rangginang masih jadi makanan suguhan sebagian masyarakat di acara tertentu, seperti Hari Raya. Malah, kini rangginang semakin mudah ditemui. Maklum, semakin banyak perajin yang menekuni bisnis camilan tersebut. Cobalah sesekali Anda menyambangi Kampung Anyar, Desa Semplak Barat, Kecamatan Kemang, di Bogor, Jawa Barat.
Di kampung ini, Anda akan menjumpai penduduk yang rata-rata berprofesi sebagai perajin rangginang. Simak saja komentar Intah Sutiawan, salah satu perajin rangginang di desa itu. "Lebih dari 80% warga sini membuat rangginang," katanya. Menurut dia, para perajin rangginang di kampungnya tersebar di tiga rukun tetangga (RT). Jumlahnya sekitar 100 kepala keluarga.

Tidak sulit mencapai sentra rangginang Kampung Anyar. Di pintu masuk desa berdiri dengan kokoh dua tugu di kanan dan kiri jalan. Pada bagian atasnya terpacak tulisan "Pusat Pembuatan Rangginang". Memasuki kawasan desa, pengunjung juga bisa melihat pemandangan seragam. Yaitu, rak-rak panjang untuk menjemur rangginang di hampir semua rumah warga. Pemandangan akan makin menarik jika kunjungan dilakukan pada pagi hari menjelang pukul 09.00 atau 10.00 WIB. Pasalnya, pada waktu ini, rangginang yang sudah diolah pada pagi harinya mulai dijemur di bawah terik matahari.

Menjelang sore saat rangginang mulai mengering, camilan ini dikumpulkan dalam wadah besar. Selanjutnya, rangginang mentah (belum digoreng) yang siap dijual ini dimasukkan ke dalam kemasan plastik dengan ukuran tertentu. Intah, yang pada tahun ini genap berusia 60 tahun, sudah jadi perajin rangginang sejak tahun 1984. Dia bilang, pada dekade itu jumlah perajin belum sebanyak sekarang. Namun, dia mengakui, sebelum dirinya terjun ke bisnis rangginang, sudah ada penduduk lain yang menekuni usaha ini.

Sami, perempuan berusia 55 tahun, adalah salah satu pionir perajin rangginang di Kampung Anyar sejak tahun 1982. "Menjelang tahun 1990-an, mulai banyak warga yang mengikuti jejak saya," tutur perempuan berjilbab itu. Meskipun sifatnya home industry, para perajin rangginang di Kampung Anyar sudah membubuhkan merek pada kemasan rangginang buatan mereka.

Mimi Mariam, misalnya. Untuk memasarkan rangginang produksinya, dia membubuhkan merek Raos. "Dapat merek sejak empat tahun yang lalu," katanya. Sementara Intah dan Sami masing-masing menggunakan merek Karya Mandiri dan Galih Jaya. Perajin juga memasang label halal pada kemasan plastik rangginang siap jual. Dengan membubuhkan merek dan label halal, para perajin lebih mudah memasarkan rangginang.

Ekspor ke Hong Kong

Rengginang made in Kampung Anyar, Desa Semplak Barat, Kecamatan Kemang, Bogor, boleh dibilang sudah cukup kesohor di pasaran. Pembelinya bukan hanya datang dari kawasan di sekitar Kota Bogor, tapi juga berasal dari berbagai daerah. Bahkan, ada yang dari luar negeri.

Banyaknya perajin rengginang di Kampung Anyar turut berandil besar dalam menggaungkan camilan ini. Maklum, masing-masing perajin telah memiliki pelanggan yang siap menyerap produksi harian rengginang olahannya. Contohnya, Intah Sutiawan. Perajin rengginang di Kampung Anyar yang kini berusia 60 tahun ini menyatakan punya 20 pelanggan. Pelanggannya tersebar di berbagai daerah, seperti Serpong, Cibinong, Ciputat, dan Cibeureum. Bahkan, kakek dari enam orang cucu ini mengklaim rengginang buatannya telah dipasarkan hingga ke Hong Kong.

Intah berkisah, pertama kali rengginang produksinya masuk ke pasaran Hong Kong pada akhir tahun lalu. Ketika itu, salah seorang pelanggannya dari Jakarta membawa oleh-oleh rengginang ke kantor tempatnya bekerja. Kebetulan, bos pelanggan tersebut berasal dari Hong Kong.

Terjerat gurihnya rasa rengginang, sang pimpinan meminta anak buahnya untuk membawanya ke Kampung Anyar. Tak disangka, rupanya pertemuan itu menjadi awal jalinan kerjasama pemasaran rengginang antara Intah dan pria asal Hong Kong itu.

Setelah pertemuan itu, Intah kebanjiran order pembuatan rengginang untuk dipasarkan di Hong Kong. Kini, dalam sebulan, Intah mengaku bisa memproduksi 500 bungkus rengginang untuk diekspor ke Hong Kong dalam satu kali pesanan. Padahal, "Sebulan bisa pesan sampai empat kali," ujarnya.

Sayang, keberhasilan Intah menembus pasar luar negeri belum diikuti perajin rengginang lainnya. Saat ini, baru Intah yang bisa mencicipi kesempatan tersebut. Mimi Maryam, perajin rengginang lainnya di Kampung Anyar, baru memiliki pelanggan dari wilayah sekitar Jabodetabek. Namun, dia pernah mencoba memasarkan rengginang ke pasar modern. Sayang, dia menilai, model kerjasama yang diterapkan pengelola pasar modern tidak menguntungkan pengusaha kecil seperti dirinya.

Mimi membeberkan, ketika hendak memasukkan produknya ke pasar modern, dia langsung disodori sejumlah pungutan seperti listing fee. Nilainya Rp 1,5 juta per bulan untuk memajang produk di area seluas 1 meter x 1 meter. Belum lagi sistem pembayaran hasil jualan yang dibayar di belakang. "Hal ini memberatkan UKM kecil seperti kami," keluhnya.

Sejak saat itu, Mimi tak lagi berniat mengejar target memasarkan rengginang di pasar modern. Bagi dia, kendati terbilang tradisional, pemasaran langsung kepada para pelanggan yang mendatangi rumah produksinya dinilai lebih efektif. Pasalnya, lanjut dia, dengan cara itu pembayaran langsung terjadi di muka. Sehingga, modal bisa kembali digulirkan untuk melakukan produksi selanjutnya.

Cara serupa juga dilakukan Sami. Perempuan ini lebih memilih menunggu para pelanggan datang ke rumah produksinya. Dengan cara seperti ini saja, dia telah memiliki pelanggan tetap sebanyak 10 orang.

Harga Boleh Sama, Tapi Rasanya Berbeda

Kelebihan membeli sebuah barang kebutuhan di pusat produksinya adalah faktor harga yang miring. Nah, hal serupa juga akan Anda temukan jika membeli rengginang di Kampung Anyar, Bogor, Jawa Barat. Di desa tersebut, para perajin rengginang menjual produksinya dengan harga seragam. Satu bungkus rengginang mentah dibanderol Rp 7.000. Isi satu bungkus sekitar 30 keping.

Keseragaman harga sengaja dibuat agar tidak ada perang harga antarsesama perajin. "Ini kesepakatan kami bersama," kata Mimi Maryam, perajin rengginang yang menjual produksinya dengan merek Raos. Agar semakin kompak, para perajin rengginang di Kampung Anyar membentuk sebuah kelompok paguyuban. Mimi, yang mengawali usahanya sejak tahun 1995, terpilih sebagai ketua paguyuban perajin yang bernama Maju Bersama.

Paguyuban Maju Bersama didirikan hanya selang beberapa bulan setelah Mimi membuka usaha. Dia berkisah, awal berdirinya paguyuban itu berangkat dari keprihatinan para perajin yang melihat kurangnya persatuan di antara mereka. Pada masa awal pembentukan, anggota paguyuban hanya berjumlah 10 perajin. Tapi, lambat-laun jumlah anggotanya bertambah hingga mencakup semua perajin rengginang di seluruh wilayah Kampung Anyar.

Intah Sutiawan adalah salah seorang perajin yang sejak awal ikut bergabung dengan Paguyuban Maju Bersama. Pria berusia 60 tahun ini mengaku merasakan banyak manfaat dengan adanya perkumpulan. "Lebih akrab satu sama lain, dan kalau ada masalah bisa dibicarakan bersama," tutur pemilik rengginang merek Karya Mandiri ini.

Meski para perajin mengaku kompak satu suara dalam hal harga, masing-masing perajin tetap tak mau berbagi racikan bumbu. Contohnya, Intah. Dia mengklaim, rasa rengginangnya berasal dari olahan resep yang dipertahankannya sejak pertama kali terjun ke usaha ini pada tahun 1984. Dalam memproduksi rengginang, dia menggunakan sejumlah bahan baku. Di antaranya, beras ketan, garam, terasi, bawang putih, dan sejumlah penyedap masakan lainnya.

Menurut Intah, dalam sehari, setidaknya, ia bisa memproduksi 50 kilogram (kg) rengginang. "Omzet penjualan bisa mencapai Rp 1 juta per hari," katanya. Lain lagi cerita yang diutarakan Mimi. Dia mengatakan, hanya memproduksi rengginang sebanyak 500 bungkus per bulan. Alhasil, omzetnya dari bisnis ini hanya Rp 5 juta per bulan.

Setali tiga uang, Sami, perajin rengginang lainnya, mengaku hanya memproduksi rengginang 35 bungkus per hari. Dus, omzet Sami hanya Rp 6,5 juta per bulan. Namun, itu adalah perhitungan omzet di hari biasa. Menjelang hari raya seperti Lebaran, produksi rengginang pasti meningkat.

Mimi, misalnya. Menjelang Lebaran, wanita berjilbab ini bisa memproduksi rengginang hingga 10.000 bungkus. "Berapa pun bikinnya akan ludes semua," katanya. Dengan alasan harga bahan baku di saat musim Lebaran melonjak, para perajin juga mengatrol harga jualnya rata-rata sebesar Rp 1.000 per bungkus. Dari sinilah, omzet perajin bisa membengkak dibandingkan hari biasa.

Proses pengolahan

Semua proses pengolahan rengginang di Kampung Anyar, Desa Semplak, Kecamatan Kemang, Bogor, masih dilakukan secara tradisonal. Proses diawali dengan pemilihan ketan yang berkualitas baik. Yakni, ketan yang tidak berbau apek dan tidak mengeluarkan bubuk.

Intah Sutiawan, perajin rengginang di Kampung Anyar, menuturkan, sebelum diolah, ketan harus direndam selama satu jam supaya lebih empuk. Ketan itu lalu dikukus selama 30 menit. Tahap selanjutnya, bahan baku ketan dicampur dengan bumbu bawang putih, terasi, dan garam. Setelah itu, kukus kembali ketan hingga satu jam. Hasil kukusan yang sudah dingin lalu dibentuk dalam wujud bulatan pipih untuk selanjutnya dijemur di bawah terik matahari.

Ada dua pilihan ketan, yakni beras ketan hitam dan beras ketan putih. Menurut Intah, tidak ada perbedaan kualitas rengginang dari dua bahan yang berbeda itu. Tapi, pemilik usaha rengginang merek Karya Mandiri ini, mengakui, bahwa harga kedua ketan itu berbeda.

Saat ini, para perajin membeli beras ketan putih dari pemasok Rp 400.000 per 50 kilogram (kg). Sedangkan harga beras ketan hitam Rp 560.000 per kg. Namun, itu patokan harga di hari-hari biasa. Menjelang hari raya seperti Lebaran, harga ketan juga akan ikut naik.

Kendati harga beras ketan kerap tidak stabil, pasokannya tetap lancar. "Kami punya pemasok tetap. Mereka rutin datang minimal dua kali sepekan," kata Intah. Kendala lain yang kerap menghadang perajin rengginang di Kampung Anyar adalah faktor cuaca. Jika musim hujan tiba, para perajin kesulitan untuk mengeringkan rengginang.

Mimi Maryam, perajin rengginang dengan merek dagang Raos, bilang, jika hujan turun, proses penjemuran rengginang jadi terganggu. Selama ini, perajin memang mengandalkan terik matahari sebagai pengering. Sejatinya, mereka pernah berinisiatif mencari mesin pengering. Tapi, menurut Mimi, pengeringan rengginang di bawah terik matahari akan lebih bagus hasilnya. "Kalau pakai oven itu hasil gorengan rengginangnya tak bagus," imbuhnya.

Cerita Mimi diamini oleh Sami, perajin lainnya. Jika musim hujan tiba, dia lebih memilih untuk tidak memproduksi rengginang. Sebab, dia mempertimbangkan faktor risiko. Jika tidak dijemur di bawah panas sang surya, rengginang akan berjamur. Dus, ujung-ujungnya, rengginang yang terlanjur telah diproduksi tidak laku dijual, karena bentuk dan rasanya tidak sebaik jika dikeringkan.

Beruntung, para perajin rengginang di Kampung Anyar cukup terampil dalam mengolah makanan. Mereka tidak hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan rengginang. Apalagi, ketika musim penghujan datang. Untuk itu, perajin mengalihkan produksi rengginang ke aneka makanan lainnya. Mimi, misalnya. Selain rengginang, dia juga memproduksi 10 penganan khas lainnya. Di antaranya, noga, geplak, teng-teng, keripik bawang, dan pastel mini.

Dengan adanya variasi produksi makanan, para perajin rengginang di Kampung Anyar tidak akan kekurangan rezeki. Terutama, ketika penjualan rengginang merosot di saat musim penghujan tiba. "Saling melengkapi saja," kata Mimi.

Asep Karmana Gorengan Rengginang Cetak Omset 20 Juta. Mengandalkan rengginang, makanan tradisional Garut, sebagai produk utama, bisnis Asep Karmana bersama istrinya, mampu meraup omset gede untuk ukuran UKM setempat. Bila anda berkunjung ke Garut Jawa Barat, cobalah untuk membeli rengginang sebagai oleh-oleh untuk rumah. Makanan ala kampung sejenis kerupuk ini ternyata masih tetap bertahan di tengah modernisasi kuliner yang marak di kota besar. Asep Karmana adalah salah satu pengusaha yang sukses dengan makanan tradisional ini. Putra asli Garut ini, mampu menghasilkan omset Rp. 20 juta per bulan. Pabriknya yang terletak di Kampung Cihuni, Pangatikan, Kabupaten Garut, menjadi tumpukan nafkah 20 karyawan.

Ide membuat rengginang, hinggap di kepala Asep pada 1989. Bersama istrinya, ia melakukan serangkaian percobaan dengan meracik bumbu tertentu, agar menghasilkan rengginang yang rasanya berbeda dengan yang sudah banyak beredar di Garut dan daerah lainnya. Setelah melewati uji coba oleh keluarga dan tetangganya dengan hasil meyakinkan, Asep pun optimis rengginangnya bisa laris di pasar.

Tapi, tekad Asep untuk memulai usaha, masih belum bulat. Waktu itu, ia masih ingin menjadi pegawai negeri. Untunglah sang ibu dan istrinya, bisa mengawali dan mengembangkan usaha pembuatan rengginang ini. Maka, Asep lulus seleksi dan menjadi pegawai berstatus honorer, dan baru diangkat statusnya pada 2006.

Menjadi pegawai negeri sudah, menekuni usaha sedang dijalani. Tinggal bagaimana Asep mengembangkan usahanya untuk bisa menjadi besar. Asep sadar, tidak mudah menjual makanan tradisional seperti rengginang, di tengah-tengah kepungan camilan modern buatan pabrik. Namun, ia percaya, makanan tradisional mempunyai keunikan tersendiri. Terlebih jika diracik dengan cita rasa yang ramah di lidah. Celah pasar, masih terbuka. “lagi pula, makanan tradisional banyak dibeli konsumen untuk oleh-oleh,” ujarnya.

Keyakinan itu tidak keliru. Seiring dengan berjalannya waktu, rengginang buatan Asep mulai kebanjiran pesanan. Mulanya ia agak kerepotan, karena modal yang dimilikinya tidak cukup banyak. Pinjam uang adalah cara cepat yang harus dijalani untuk menutupi modal. “Saya beruntung, karena diterima sebagai mitrabinaan PT. Angkasa Pura II, dan mendapat pinjaman Rp. 15 juta,” uangkap Asep, sumingrah.

Pinjaman yang diterima pada 2001 itu, benar-benar memacu bisnis rengginang Asep, karena mampu memenuhi sejumlah pesanan. “Seandainya pesanan itu gagal saya penuhi, mungkin banyak konsumen yang kecewa. Akibatnya bisa fatal dalam pengembangan usaha ke depan,” ujarnya.

Setelah pinjaman pertama lunas, Asep kembali mendapat pinjaman kedua sebesar Rp. 30 juta. Pinjaman sebesar itu, tentu saja sesuai dengan kebutuhan usaha rengginang yang terus berkembang. “Setelah pinjaman ini luas, saya berencana mengajukan lagi ke PT. Angkasa Pura II, sampai Rp. 75 juta,” ucapnya.

Saat ini, usaha milik Asep sudah mampu menyerap 20 karyawan. “Saya yakin, usaha ini masih bisa dikembangkan, dengan target omset rata-rata Rp. 20 juta per bulan,” tandasnya. Jika pinjaman ketiga disetujui, akan digunakan untuk berinvestasi membeli tanah untuk membangun pabrik lagi. Asep juga yakin dapat melunasi pinjaman tanpa harus menunggu waktu yang ditentukan, karena usaha ini menjanjikan keuntungan 40 persen dari biaya produksi.

Pabrik pertamanya sudah berjalan dan memproduksi setiap hari sebanyak 2 kuintal rengginang. Untuk keragaman produk, Asep juga membuat dapos yang terbuat dari bahan beras dan jagung. “Jadi kalau hanya mengandalkan satu pabrik, perkembangan usaha saya akan mentok. Pabrik baru merupakan kebutuhan mendesak,” katanya.

Di samping untuk menggenjot kapasitas produksi, kebutuhan pabrik baru juga didorong oleh kenyataan, bahwa proses pembuatan rengginang sangat tergantung pada terik matahari untuk menjemurnya. Pernah ia menyiasati dengan menggunakan oven, tetapi hasilnya tidak bagus.

Sedangkan permintaan di saat musim hujan sangat besar. Karena selain penghujung dari luar kota yang membeli, para petani setempat juga menyenangi rengginang ini. Mereka menyantapnya bersama dengan nasi ketika bekerja di ladang dan sawah.

Dengan perkembangannya yang pesat, usaha rengginang Asep tentu saja menjadi perhatian pesaing. Bahkan, ada yang nekad memalsukan produknya, dan dijual dengan harga Rp. 2.500 per bungkus, jauh lebih murah ketimbang rengginang asli buatan Asep yang dipatok Rp. 4.500 per bungkus. Tapi, langkah curang ini terbukti tak mampu menggoyangkan usaha rengginang Asep.

“Saya berterima kasih pada PT. Angkasa Pura II, sehingga bisa berkembang seperti sekarang,” aku Asep, sambil menjelaskan, bahwa pembinaan yang dilakukan BUMN tersebut bukan hanya sebatas pemberian pinjaman lunak, tetapi juga pelatihan manajemen. “Kendati usaha saya masih skala UKM, tetap saja butuh manajemen yang baik untuk bisa maju,” imbuhnya.
Sumber: http://www.suaramedia.com/ekonomi-bisnis/usaha-kecil-dan-menengah/24638-rengginang-ringan-tapi-mampu-hasilkan-omzet-rp20-jt-bln.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alqur'an